SAJAK SAJAK SETIYO BARDONO DEPOK
Untuk memberi Ruang Publik. Rubrik BUDAYA KoranPurworejo.Com menerima tulisan karya yang relevan, seperti Puisi, Cerpen, Laporan Diskusi, Ulasan pentas dan sejenisnya. Akan dimuat disetiap hari Minggu.Rubrik ini digawangi Penyair dan Essays Sumanang Tirtasujana.
Berikut Sajak -Sajak Setiyo Bardono Depok.
PUISI-PUISI
SETIYO BARDONO
STASIUN MATI
Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Cahaya lampu minyak tanah di atas gerobak
yang patah satu kakinya setelah lelah menapaki perjalanan usia. Kerdip
nyala di buram mata perempuan tua yang tekun menata asa selepas senja.
Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Cahaya layar telepon genggam di tangan
perempuan yang muncul dari bantaran. Rimbun ilalang merunduk terbius wangi.
Langit senja terlena menceburkan diri.
Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Cahaya lampu sepeda motor yang padam saat
malu-malu menyusuri tanggul sungai menuju stasiun itu.
Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Kereta yang termangu menatap cahaya remang dan
tergagap menterjemahkan percakapan bayang-bayang.
Sinyal Masuk
Stasiun Mampang, 27 April 2017
---------------------------------------------------------------
NISAN DI TEPI JALAN
Debu rindu menebal di wajah
nisan-nisan meratap di tepi jalan.
Telah terukir indah nama,
garis batas penanda usia
: tangis kelahiran - ratap kematian.
Entah sampai kapan nisan menunggu
seseorang mengantarnya menuju pusara.
Ah, siapa tega menguratkan harapan
mengendapkan cinta tak teralamatkan.
Andai punya kaki tangan
nisan-nisan akan berjalan
dari makam-makam, mencari sesosok raga
dengan nama yang tertulis di tubuhnya.
Depok, Januari 2016
---------------------------------------------------------
KARNA
Namanya Karna,
putera masinis yang menempa anak panah kesabaran di atas rel kereta. Kehidupan
pinggiran jalur berbatu menajamkan kepekaan telinga.
Dalam pandangan
berkaca-kaca, di peron stasiun, Pandawa dan Kurawa tekun belajar bimbingan
memanah dari Begawan Dorna.
"Seorang lelaki membutuhkan senjata agar bisa menjadi ksatria,"
batinnya.
Dirautnya tulang
kukuh melengkung busur panah. Jika seucap dusta bisa mematahkan sayap kereta,
lempang keyakinan akan menerbangkannya meraih tahta.
Anak panah Karna
melesat mengejar laju kereta. Masinis kereta menatap laju anak panah dari balik
kaca. Anakku, Terus berlatihlah mengendalikan amarah, teguhlah engkau di jalan
panah.
Depok, 28 Oktober 2016
---------------------------------
KELOMANG
Aku kelomang
penuh warna dan lincah,
kepiting pertapa
dipaksa memikat bocah
dalam baskom
keramaian pasar tumpah
dalam binar
pandang kanak-kanak sekolah rendah.
Hidup di laut
dangkal,
menyelami
kedalaman akal.
Menyeret cangkang
menyangga rumah,
ruang kosong
penjaga tubuh lemah.
Kepiting pertapa
kadang berpindah rumah,
tapi tak suka
dipaksa ke ruang entah.
Hidup terkurung
dinding warna terang,
gambar tokoh
kartun menghiasi pandang.
Aku kelomang
kepiting pertapa,
menjauhi zikir
pasir secara paksa.
Dirayu umpan
manis tebu,
membusuk mati
tanpa kau tahu.
Depok, 28 Oktober
2016
---------------------------------
BALA- BALA
Siapa sejatinya
mendambakan cabai rawit
: bala-bala atau
lidah?
Perasaan wortel
yang teriris, tubuh kol yang menyerpih, lebih membutuhkan tepung terigu untuk
menyatukan adonan rindu.
Hidup tak lurus
mulus, kadang berbelok kadang bengkok. Serupa batang kecambah, tercerabut
bersama akar, tak sempat tumbuh besar.
Setelah berkubang
panas, haruskah bala-bala mengecap pedas. Namun lidah tak pernah puas, pada
rasa yang singgah sejenak cepat melintas, tak peduli beban perut menampung dan
mencerna ragam peristiwa.
Pada gigitan
cabai rawit pertanyaan hidup bertambah rumit: siapa sejatinya mendambakan pedas
rawit?
Tidakkah kau
tahu, ketika harga cabai melambung tinggi, bala-bala tetap hadir dengan rendah
hati.
Depok, 11 Februari 2017
----------------------------------------------------
LAKSA
Di mangkuk ini,
perjalanan rindu menapaki kedamaian senja. Rambut yang memutih menyandarkan
segenap perasaan pada perasan santan kelapa tua.
Kita akan sering
duduk di beranda dengan sedikit cakap dan sebersit harap: kereta yang sesekali
datang atau deru bus antar kota yang mengerang dan menghilang, membawa serta
tawa kanak-kanak, menghapus rindu yang tanak.
Di pekarangan,
anak-anak ayam ramai berkeciap mencari induknya. Mereka harus belajar menjadi
dewasa. Semalam pisau tajam mengabarkan kematian, pengorbanan untuk menjaga
denyut kehidupan.
Di separuh telur,
juga sepasang matamu terpancar kuning purnama, roda nasib yang tabah menapaki
perjalanan usia dan berbinar menyelami rasa.
Di sela rambut
putihmu, aku mencium wangi kemangi. Dadaku dipenuhi aroma kesetiaan yang abadi.
Cibinong, 28/10/2016
----------------------------------------------------
MENULIS PUISI DI DINDING KULKAS
Menyusun huruf-huruf di dinding kulkas, puisi tak
lekas tuntas. Tiap kali aku merapikan susunan kata. tangan mungilmu mengacaknya.
Di lantai, huruf-huruf berserakan. Satu-persatu hilang tanpa sempat menuliskan
pesan.
Walaupun hati gundah, aku tak boleh marah. Puisi harus kujauhkan dari sumpah serapah. Telinga kecilmu harus bersih dari kata tak ramah.
Saat rumah rapi, kudapati tubuhmu tergolek
memeluk sakit puisi. Huruf-huruf di kulkas termangu meratapi sepi. Lekas sembuh
Nak, agar kita bisa bersama mengacak kata.
Saat dewasa, mungkin engkau akan menggembara
untuk menulis puisimu sendiri. Di saat itu aku akan merindukan tangan-tangan
kecil mengacak-acak puisi di dinding hati.
Depok, 20 Januari 2016
----------------------------------------------------
KUNANG-KUNANG
Sita, bagaimana ayah harus menceritakan perihal
kunang-kunang, kerlip terbang yang sudah lama hilang. Mungkin kunang malu
dengan terang lampu, kesulitan mencari minyak tanah, atau kehabisan sumbu.
Sementara tubuhnya terlalu mungil untuk terbang menenteng tabung gas tiga kilogram, nanti bisa jatuh terkena kepala ayah: aduh! Selain itu tertulis jelas gas bersubsidi hanya untuk masyarakat miskin. Bukan kunang-kunang kurang mampu. Nak, kunang-kunang hidup bersahaja, tak kenal istilah miskin kaya.
Sepertinya kunang lebih suka menyepi di pekuburan, tepian empang, persawahan, dan tempat-tempat gelap yang belum terjamah penerangan. Mungkin juga kunang memilih terbang tinggi ke angkasa berbaur dengan bintang-bintang, tempat dimana nanti kamu mengantungkan cita-cita dan harapan.
Sita, kata ibu, kunang lahir dari serpihan kuku. Karena itu, jangan sebal kalau ibu rajin memeriksa dan memotong kukumu. Ibu hanya ingin menghidupkan kunang-kunang di binar matamu. Ibu hanya ingin merangkum cahaya bintang di bening hatimu.
Depok, 20 Januari 2016
----------------------------------------------------
CICAK-CICAK DI DINDING
Cicak-cicak yang suka
menguping dinding,
diamlah walau kau dengar
rahasia genting.
Simpanlah rahasia di
relung telinga,
jangan sampai menyebar
menjadi kata.
Dinding-dinding yang
punya banyak kuping,
senyaplah walau kau serap
rahasia penting.
Cicak dan dinding
bicaralah padaku,
jika rahasia itu tentang
aku.
Cicak-cicak asyik
merayapi dinding rahasia,
mengintip sepasang nyamuk
bercinta di udara.
Hap! sayap rahasia
terperangkap
jatuh terjerembab ke
dalam senyap.
Depok, 29 Januari 2016
----------------------------------
*SETIYO BARDONO,
penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban
Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar
Malam Production, 2012), dan Aku
Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel
karyanya: Koin Cinta (Diva Press,
2013) dan Separuh Kaku (Penerbit
Senja, 2014).
Tidak ada komentar