SAJAK SAJAK TRISIA CANDRA -BANJAR BARU BANJARMASIN.
SAJAK SAJAK TRISIA CANDRA -BANJAR BARU BANJARMASIN.
KIDUNG RINDU DI LERENG MERATUS
Trisia Chandra
Sungguh,
Jauh di ceruk matamu, kutemukan seutas cinta yang mengambang
kuraih dan kurajut serupa selendang mayang
lalu kulilitkan di antara dahan-dahan meranti yang tumbuh lebat di hutan
Kelak, jika aku terjatuh pada tebing curam itu, aku masih bisa merobeknya lalu menjadikannya penambal luka-luka
Di sepanjang sungai Amandit, arus rindu kita beradu
berkejaran hingga ke hulu
menapak jejak di batu-batu
lalu jatuh oleh licinnya lumut-lumut bisu
Bernyanyilah, sayang!
Kelak akan tiba pada suatu masa, di mana kerinduan adalah nyanyian kalbu yang paling pilu
Biarkan aku rebah di dadamu
berbantalkan sajak-sajak yang paling syahdu
tak perlu lagi kita meragu
Tuhan sudah menuliskan namamu di lekukan takdirku
Di lereng Meratus,
Segenap rindu kian mengultus
Loksado, 191117
MENULISI DAUN-DAUN 2
(Untuk Agustina Thamrin)
Menulisi daun-daun bersama umur
kita membaca ranting-ranting tua dan
sejuta akar yang mati tenggelam
Ada sesambat yang tersumbat
ada air yang melepuh
menjadi kita, pada
saatnya tiba
Kita pernah bicara tentang cinta, sepi,
rindu, juga luka-luka
penuh sembilu rasa yang menyayat, kemudian terjerembab jatuh dalam kubangan nestapa
Kita pun pernah bersama melinting gelisah
sembari mengurai kisah
lalu, mengepulkan asap-asap
di antara perih mata yang membasah
Pada tatapmu aku melihat seikat sunyi
meski bibirmu mengulas senyum seindah pagi
kau tak pernah mampu sembunyi
Takkan pernah ada keluh tentang tubuh yang rapuh
jadilah kemuning di pagi nan hening
atau seroja di ujung senja
hingga malam tak kehilangan makna
Menulisi daun-daun bersama sisa usia
biarkan butiran embun menjelma tinta
menatah segala asa dan rasa
Mari menulisi daun-daun
dengan suka cita atas nama cinta, hati dan air mata
Jangan pernah melupa, bahwa kemuliaan atas hidup
kerap tak segampang memetik setangkai kembang
Cukuplah kita menjadi dahan yang teduh
tempat melesapkan segala keluh
karena memintal benang cinta
tak semudah mengurai logika
Ruang sunyi, 301217
PEREMPUAN BERMATA MAWAR
(Kepada Cornelia Endah Wulandari)
Kau buka jendela pagi ini
senyum semringah menahan setumpuk lelah
sederet gigi yang tersusun rapi nampak putih berseri
Menatap matanya, selalu saja terasa menyejukkan
seperti ada dua kuntum mawar yang mekar
membuyarkan lamunanku yang mulai hambar
Dia datang sesaat aku tengah mencari lentera dalam gulita
ingin rasanya aku menghambur dalam peluknya
ketika sajak-sajak tercekat kehilangan kata
Aku ingin berhenti mengaduh
dengan sajak-sajak yang kuseduh
seirama nafas nan gemuruh
Tapi, perempuan bermata mawar
memintaku menuang sunyi dalam puisi
aku pun kembali menulis sajak-sajak tentang sukma yang terjerat cinta, sembari menyesap aroma senja
Hingga nanti, puisiku perlahan-lahan redup dan mati dikoyak sunyi
Ruang sunyi, 080117
PEREMPUAN BESI MENANGISI HATI
Kepada matahari
Ia menceritakan mimpi-mimpi
kepada rembulan
Ia berkisah segala gelisah
kepada angin Ia bercanda
bahwa cinta adalah sejarah
agar manusia mengerti
: kemanusiaannya
Perempuan besi itu
tak memiliki cinta lagi
Cintanya telah lama pergi
bersama air mata yang
dihempas-hempaskan
: sendiri
Entah ke mana Ia hendak sembunyi
semua nampak tanpa tepi
Ia mulai menghitung-hitung waktu
menanti kapan saat beranjak tiba
senja demi senja adalah detak-detak
cintanya yang kian menua
perburuan dan pergulatan
hilir mudik begitu rupa
: tak menjadi apa-apa
Perempuan besi itu
menimba air mata
menghentikan segenap luka
ruhnya berkelebatan
mencari ruang yang paling sunyi
: akhiri bait demi bait puisi
Bjb, 190318
PEREMPUAN MENJERATKAN TALI DI UMURNYA
Perempuan pintar menggurat malam
dihitungnya kerut kemerut di dahi kusam
di ujung bibir
di pipi dan di dagu
yang mulai bergelambir
Semula, semuanya kencang,
kenyal, kemerlip dan kemilau,
menjadi pualam atas segala
cinta yang ranum, riuh dan
bergemuruh berpantang desau
Kepada matahari Ia terlanjur memahat janji
bahwa setiap hari tetap menerangi
tanpa pernah mau menduga
mendung pun menutupi sinarnya
Perempuan yang menjerat tali di umurnya
merangkai cerita dalam genangan kata
menulisnya dengan segenap cinta
tanpa peduli semesta mentertawakannya
Perempuan itu, menghitung helai demi
helai rambutnya yang mulai abu-abu
juga bulu mata yang luruh satu-satu
karena akarnya membusuk oleh hujan yang tak henti menggelombang
Ia tetap melangkah membusung dada
menyandarkan pikiran pada riuhnya canda
dalam ganjalan puing-puing hatinya
yang tinggal sejarah
Ia merasakan sepi yang membeludak
tali yang menjerat umurnya memaksanya
diam tak mampu lagi berteriak
matanya kian mengembun menakar matahari
yang terus bersetia membagi cahaya
pada mekarnya bunga-bunga
Perempuan itu,
terus saja menjeratkan seutas tali di umurnya
berbarengan amuk rasa tak meredam jiwa
menyesak menusuk dada menyimpan murka
pada lelaki yang memberinya cinta
lalu menyemai durjana
Ribuan rayu manis cinta telah ditolaknya
demi tak ingin menebar benalu luka
di dahan rindu kekasihnya
siapa pernah menyangka
jika lelakinya mendua cinta?
Perempuan yang menjeratkan
seutas tali di umurnya
kian tak mampu berkata-kata
di dada lelaki bermata dewa
Ia temukan berbongkah-bongkah
dusta
.
Bjb, 07 Mei 2017
Untuk memberi Ruang Publik. Rubrik BUDAYA KoranPurworejo.Com menerima tulisan karya yang relevan, seperti Puisi, Cerpen, Laporan Diskusi, Ulasan pentas dan sejenisnya. Akan dimuat disetiap hari Minggu. Rubrik ini digawangi Penyair dan Essays Sumanang Tirtasujana.
Trisia Chandra
Sungguh,
Jauh di ceruk matamu, kutemukan seutas cinta yang mengambang
kuraih dan kurajut serupa selendang mayang
lalu kulilitkan di antara dahan-dahan meranti yang tumbuh lebat di hutan
Kelak, jika aku terjatuh pada tebing curam itu, aku masih bisa merobeknya lalu menjadikannya penambal luka-luka
Di sepanjang sungai Amandit, arus rindu kita beradu
berkejaran hingga ke hulu
menapak jejak di batu-batu
lalu jatuh oleh licinnya lumut-lumut bisu
Bernyanyilah, sayang!
Kelak akan tiba pada suatu masa, di mana kerinduan adalah nyanyian kalbu yang paling pilu
Biarkan aku rebah di dadamu
berbantalkan sajak-sajak yang paling syahdu
tak perlu lagi kita meragu
Tuhan sudah menuliskan namamu di lekukan takdirku
Di lereng Meratus,
Segenap rindu kian mengultus
Loksado, 191117
MENULISI DAUN-DAUN 2
(Untuk Agustina Thamrin)
Menulisi daun-daun bersama umur
kita membaca ranting-ranting tua dan
sejuta akar yang mati tenggelam
Ada sesambat yang tersumbat
ada air yang melepuh
menjadi kita, pada
saatnya tiba
Kita pernah bicara tentang cinta, sepi,
rindu, juga luka-luka
penuh sembilu rasa yang menyayat, kemudian terjerembab jatuh dalam kubangan nestapa
Kita pun pernah bersama melinting gelisah
sembari mengurai kisah
lalu, mengepulkan asap-asap
di antara perih mata yang membasah
Pada tatapmu aku melihat seikat sunyi
meski bibirmu mengulas senyum seindah pagi
kau tak pernah mampu sembunyi
Takkan pernah ada keluh tentang tubuh yang rapuh
jadilah kemuning di pagi nan hening
atau seroja di ujung senja
hingga malam tak kehilangan makna
Menulisi daun-daun bersama sisa usia
biarkan butiran embun menjelma tinta
menatah segala asa dan rasa
Mari menulisi daun-daun
dengan suka cita atas nama cinta, hati dan air mata
Jangan pernah melupa, bahwa kemuliaan atas hidup
kerap tak segampang memetik setangkai kembang
Cukuplah kita menjadi dahan yang teduh
tempat melesapkan segala keluh
karena memintal benang cinta
tak semudah mengurai logika
Ruang sunyi, 301217
PEREMPUAN BERMATA MAWAR
(Kepada Cornelia Endah Wulandari)
Kau buka jendela pagi ini
senyum semringah menahan setumpuk lelah
sederet gigi yang tersusun rapi nampak putih berseri
Menatap matanya, selalu saja terasa menyejukkan
seperti ada dua kuntum mawar yang mekar
membuyarkan lamunanku yang mulai hambar
Dia datang sesaat aku tengah mencari lentera dalam gulita
ingin rasanya aku menghambur dalam peluknya
ketika sajak-sajak tercekat kehilangan kata
Aku ingin berhenti mengaduh
dengan sajak-sajak yang kuseduh
seirama nafas nan gemuruh
Tapi, perempuan bermata mawar
memintaku menuang sunyi dalam puisi
aku pun kembali menulis sajak-sajak tentang sukma yang terjerat cinta, sembari menyesap aroma senja
Hingga nanti, puisiku perlahan-lahan redup dan mati dikoyak sunyi
Ruang sunyi, 080117
PEREMPUAN BESI MENANGISI HATI
Kepada matahari
Ia menceritakan mimpi-mimpi
kepada rembulan
Ia berkisah segala gelisah
kepada angin Ia bercanda
bahwa cinta adalah sejarah
agar manusia mengerti
: kemanusiaannya
Perempuan besi itu
tak memiliki cinta lagi
Cintanya telah lama pergi
bersama air mata yang
dihempas-hempaskan
: sendiri
Entah ke mana Ia hendak sembunyi
semua nampak tanpa tepi
Ia mulai menghitung-hitung waktu
menanti kapan saat beranjak tiba
senja demi senja adalah detak-detak
cintanya yang kian menua
perburuan dan pergulatan
hilir mudik begitu rupa
: tak menjadi apa-apa
Perempuan besi itu
menimba air mata
menghentikan segenap luka
ruhnya berkelebatan
mencari ruang yang paling sunyi
: akhiri bait demi bait puisi
Bjb, 190318
PEREMPUAN MENJERATKAN TALI DI UMURNYA
Perempuan pintar menggurat malam
dihitungnya kerut kemerut di dahi kusam
di ujung bibir
di pipi dan di dagu
yang mulai bergelambir
Semula, semuanya kencang,
kenyal, kemerlip dan kemilau,
menjadi pualam atas segala
cinta yang ranum, riuh dan
bergemuruh berpantang desau
Kepada matahari Ia terlanjur memahat janji
bahwa setiap hari tetap menerangi
tanpa pernah mau menduga
mendung pun menutupi sinarnya
Perempuan yang menjerat tali di umurnya
merangkai cerita dalam genangan kata
menulisnya dengan segenap cinta
tanpa peduli semesta mentertawakannya
Perempuan itu, menghitung helai demi
helai rambutnya yang mulai abu-abu
juga bulu mata yang luruh satu-satu
karena akarnya membusuk oleh hujan yang tak henti menggelombang
Ia tetap melangkah membusung dada
menyandarkan pikiran pada riuhnya canda
dalam ganjalan puing-puing hatinya
yang tinggal sejarah
Ia merasakan sepi yang membeludak
tali yang menjerat umurnya memaksanya
diam tak mampu lagi berteriak
matanya kian mengembun menakar matahari
yang terus bersetia membagi cahaya
pada mekarnya bunga-bunga
Perempuan itu,
terus saja menjeratkan seutas tali di umurnya
berbarengan amuk rasa tak meredam jiwa
menyesak menusuk dada menyimpan murka
pada lelaki yang memberinya cinta
lalu menyemai durjana
Ribuan rayu manis cinta telah ditolaknya
demi tak ingin menebar benalu luka
di dahan rindu kekasihnya
siapa pernah menyangka
jika lelakinya mendua cinta?
Perempuan yang menjeratkan
seutas tali di umurnya
kian tak mampu berkata-kata
di dada lelaki bermata dewa
Ia temukan berbongkah-bongkah
dusta
.
Bjb, 07 Mei 2017
Trisia Chandra, lahir di Landasan Ulin, Banjarbaru 23 Juli. Mendalami dunia seni sejak SMP khususnya seni musik dan menyanyi. S1 Administrasi negara ini lebih memilih wirausaha di bidang salon kecantikan. Puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa Antologi bersama, antara lain: Puisi Menolak Korupsi 5, Memo Untuk Wakil Rakyat (2015), Kitab Karmina Indonesia (2015), Kalimantan Rinduku Yang Abadi (2015), Melepas Tubuh Dalam Cahaya (2015), Antologi Gerhana (2015), Haiku Indonesia 2 (2016), Antologi Perempuan Pemburu Cahaya (21 puisi perempuan nusantara), Haiku Indonesia 3 (2017), Antologi Puisi 5 baris (Teras Puisi, 2017), Antologi bersama Permata Hati Nusantara (2017), Antologi Dari Negeri Poci (Negeri Laut, 2017)
Antologi Aruh Sastra Kalimantan Selatan X1V .Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2017 ( The First Drop Of Rain.
Tidak ada komentar